Bacakan Nama-Nama Ini. Latihan Kita Mulai!
Baca esai ini dengan lantang (minimal dalam lirih), terutama saat menyebut nama-nama korban Kanjuruhan. Ingatan akan bekerja lebih baik, dan sejarah akan bertahan.
Ada kekuatan-kekuatan di dunia ini yang tak menghapus sejarah dengan sensor atau larangan. Mereka melapisinya, membangun di atasnya, menutupnya dengan warna baru, bukan untuk memperbaiki tapi untuk mengaburkan. Di tempat-tempat seperti itu, ingatan tidak dibunuh. Ia diredupkan dengan cara paling elegan: lewat renovasi. Itu yang terjadi di Kanjuruhan.
Di sanalah, di atas Kanjuruhan yang sudah dibangun ulang, suara yang kita keluarkan mendadak lebih lirih dari biasanya. Tapi itu tidak berarti kita berhenti bicara. Bahkan bila harus berbisik kepada batu nisan yang tak pernah dibangun. Saat Muh. Virdi Prayoga dan Audi Nesia Alfiari, anak-anak yang belum melihat banyak hal indah di muka bumi ini, tak pernah bisa pulang kembali ke rumah, kita seharusnya semakin mengerti bahwa anak-anak sudah wajar tidak tahu batas, tapi orang dewasalah yang tidak tahu diri.
Pada tanah yang subur ini, nyawa anak berusia 13 tahun seperti Hafiska Dwi Aninditya, Yanuar Dwi Bramantyo, Moch. Rifky Aditya dan Anggara Putra Pratama ternyata bisa diperlakukan sebagai insiden operasional yang pelakunya dihukum seperti melakukan kesalahan ringan yang tak berdampak serius kepada banyak keluarga yang akhirnya mengerti: darah ada batasnya, air mata yang tidak.
Padahal kita tahu persis, remaja seperti Ahmad Fajar Khoiron, Yulio Dini Prastiawan, dan Moh Akbar yang baru berusia 14 tahun bukanlah kutipan dari berita pagi, bukan caption belasungkawa di Instagram, bukan angka statistik. Ini nama-nama yang digumamkan pelan oleh tubuh yang tak pernah benar-benar diberi ruang berkabung. Karena dalam negara yang tak pernah menyelesaikan luka, kebenaran jadi seperti debu: hanya terlihat saat cahaya tertentu menyorotnya.
Tapi bayangkan jika cahaya itu sengaja dimatikan oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaga sejarah, bukan menghapusnya. Tak ada pengumuman besar. Tanpa upacara pelepasan duka. Yang datang justru buldoser. Cetak biru. Dana pembangunan. Janji-janji tentang stadion standar FIFA. Seolah tragedi adalah kecelakaan arsitektur. Seolah tubuh-tubuh yang hancur bisa ditebus dengan bangku baru dan lampu sorot LED.
Padahal, remaja berusia 15 tahun seperti Daffa Fakhruddin, Muhamad Mustofa, Mohamad Rian Fauzi, Muhammad Nizamudin, Handika Rizky Triono, Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra, Citra Ayu Amelia, dan Muhammad Nailul Author pernah punya begitu banyak harapan. Sangat mungkin mereka bisa memberi lebih banyak kepada dunia jika diberi kesempatan hidup lebih lama.
Dua pemain bola kecil Malang, Yohanes Revano Prasetyo dan Gabriel Fernanda Yuda, andai bertahan sedikit lebih lama, mungkin bisa membuat Kanjuruhan menggelegar bukan oleh tangis yang menggugat nasib buruk, melainkan oleh sorak-sorai bahagia karena mereka mencetak gol untuk Arema, berlari sambil mengepalkan tangan ke tribun, memeluk rekan setim, dan menyalakan harapan bahwa stadion ini semestinya menjadi rumah kemenangan, bukan liang kematian.
Bukankah dunia mengenal cara lain untuk merawat luka, apalagi luka yang dialami sebuah keluarga besar yang dalam satu waktu dan di tempat yang sama persis kehilangan tiga anaknya yaitu Haikal Maulana, Irsyad Aljuned, Astrid Nafisa Putri?
Di Phnom Penh, Kamboja, bangunan Tuol Sleng yang merupakan bekas penjara S-21 tempat ribuan orang disiksa dan dibunuh oleh rezim Khmer Merah, dibiarkan sebagaimana adanya. Jeruji, ranjang besi, bahkan noda darah masih tertinggal. Agar generasi berikutnya tahu apa yang bisa dilakukan kekuasaan dalam menyikapi kematian anak muda berusia 16 tahun seperti Elisabeth Agustin, Moh Rizki Darmawan, Achmad Husen Rahmadani, Muhammad Hendra Wahyu Zaenal Arifin, Muhammad Kindi Arrumi Purnama, Moch Hashfi Al Wafi hingga Gabby Setya Wardhani.
Di Srebrenica, Bosnia, Potočari Memorial Centre berdiri tenang di kaki bukit. Di sana, 8.372 korban genosida dimakamkan. Tak ada musik. Tak ada turisme. Hanya batu-batu putih kecil dan sunyi panjang yang menyimpan tangis dunia. Tapi siapa yang menyimpan tangis Arnol, Moch. Adib Husni, M Rizal Ilhamin, Revanya Salwa Syahrani atau Afrililla Tri Putra selain keluarganya sekarang?
Di Kanjuruhan, tangis tidak disimpan. Ia dibersihkan dari nama Abian Hasyi Rifki, Syahrulloh, Muhammad Ari Maulani, Dafa Yunanto, Clarita Discha Nophia Putri, Herlangga Aditama Putra, hingga Wahyu Nur Utomo. 12 nama pemuda berusia 18 tahun pada paragraf ini tidak seharusnya menjadi epitaf, melainkan kebanggaan keluarga dan teman-temannya, seandainya tak berjumpa dengan Malam Jahanam yang tak tuntas dipertanggungjawabkan itu.
Di Kigali, Rwanda, Gisozi Memorial Centre menyimpan tengkorak-tengkorak, foto-foto, dan nama-nama korban pembantaian 1994. Bangunannya bersih, terawat. Tapi ia tidak menutup luka. Ia memelihara luka agar tak hilang dari sejarah. Seperti luka-luka yang ditinggalkan oleh Rizky Dwi Yulianto, Ria Amalia Putri, Wildan Ramadhani, Indhi Rahma Putri Conceisa, Angger Aditya Permana, Septian Ragil Syahputra dan Akhmad Khoirul Huda.
Jika Phnom Penh menjaga ingatan Khmer Merah, Srebrenica menjaga luka genosida, Kigali menjaga bau darah yang pernah memenuhi jalanan, maka apa yang dijaga oleh Kanjuruhan di hari ke-1000-nya? Apakah mereka menjaga nama baik Yunia, Hindun Diana, Muhammad Hafizh Aprilianto, Gilang Surya Ramadani, Ibnu Muhammad Rafi, Agus Riansyah Pratama Putra, dan Bregi Andri Kusuma Anggi?
Di Malang, sejarah dipangkas rapi. Stadion yang jadi saksi bisu malah dibongkar, didesain ulang, lalu dibuka kembali seolah tak pernah ada apa-apa. Yang ada hanya rumput baru dan suara peluit yang seolah ingin berkata: lupakan Alfinia Maharani Putri, Lamhadi Irawan, Andika Bayu Pradana, Lutvia Damayanti, Hildan Adit Agista, dan Radina Astrid Yufitasari. Mereka tak mendapat batu nisan. Hanya bayangan di antara sorotan stadion.
Tapi kita tahu, renovasi bukan hal netral. Ia membawa logika penghapusan diam-diam. Sejenis operasi berkuasanya lupa yang entah kapan bisa dimaafkan oleh orang tua kakak beradik Naila Debi Anggraini dan Natasya Debi Ramadhani serta orang tua kakak beradik lainnya yaitu Ahmad Nur Cahyo dan Muhamad Farel Al Janadi. Orang tua mana di bumi ini yang tak berpikir untuk menggugat langit saat kehilangan dua anak hanya dalam satu tarikan kejadian yang begitu bangsat?
Renovasi ini bukan sekadar perbaikan infrastruktur. Ia adalah pemutusan rantai pengingat. Sebuah penghapusan yang berjalan dengan tenang, melalui proyek, bukan larangan. Ia tak menutup mulut kita, tapi mencabut ruang tempat suara kita pernah bergema. Rizky Wahyudi, Aditya Dimas Pratama, Muhammad Ubaidillah, Mohammad Tegar Ardian Yoga, Bahrul Ulum, Riyang Ambarwati dan Ahmad Dani Syafarudin—mereka bukan nama di brosur proyek renovasi Kementerian PUPR. Mereka nama-nama yang tak sempat diserukan di tengah hening.
Tapi, kita berjanji untuk menyebut nama-nama seperti Kaka Widad Samdya Adabi, Mochamad Ali Muhtar, Muhammad Ilham Sabilillah, Riyan Faris Akbar, atau Reyvano Dwi Afriansyah, dalam hening atau pun berisik.
Siapa yang berani bilang kita melupakan mereka? Yang benar: kita dipaksa lupa. Lupa bukan karena kita jahat. Tapi karena panggung kekuasaan selalu menjadikan ingatan dan lupa bertarung seperti sabung ayam; dan yang kalah akan disembelih, dijadikan tontonan, lalu dilupakan lagi. Di negeri ini, ingatan tak pernah dibiarkan jadi tenang. Ia selalu harus menjerit lebih dulu agar dianggap ada.
Sebab begitu nama tak disebut, sistem akan bekerja seperti biasa. Begitu Faiz Al Fikri, Muh. Mungizul Hidayatullah, Aura Maulida Fitra Aisyiah, Farzah Dwi Kurniawan Jovandu, dan Miuhammad Khairul Huda tidak pernah disebutkan, di situlah sistem bergerak bukan dengan melupakan, tapi dengan membiasakan. Agar lama-lama, pembantaian pun bisa dianggap semata kejadian.
Dan dari sanalah impunitas menjelma jadi industri: industri pertahanan kekuasaan. Impunitas bukan kekeliruan, bukan kebocoran sistem. Ia adalah sistem itu sendiri. Ia adalah industri pertahanan kekuasaan karena para pelaku kekerasan bukan hanya dilindungi, tapi didaur ulang. Dipromosikan. Disusun ulang dalam formasi baru agar tetap bisa berfungsi dalam sejarah berikutnya. Seperti tukang jagal yang kembali berdinas di dapur negara.
Tapi saat para pelaku dirotasi, diberi jabatan baru, bahkan diberi panggung, para korban justru makin ditenggelamkan. Dari Putri Lestari, Fillah Aziz Firmansyah, sampai Noval Putra Aulia dan Hendrik Gunawan – mereka yang baru berusia 21 tahun ini tak ada yang ingin dikenal apalagi menjadi simbol. Mereka juga tak meminta jadi martir. Tapi hari ini, di tengah konser yang hingar, influencer yang sibuk berswafoto, dan panitia yang tergesa bersih-bersih, nama-nama mereka hadir seperti bisikan keras: kami belum selesai.
Iya, belum selesai. Karena begitu Andik Purwanto, Vera Puspita Ayu, Salsa Yonas Octavia, Anik Hariani Wardining Tiyas, El Vidually, Sandi Sanjaya, Helen Prisella, dan Evi Nur Rosidah terhenti napasnya, kita tidak ingin selesai dengan pertanyaan: kenapa nyawa bisa begitu murah, tapi tiket begitu mahal?
Karena itu kita harus menyebut nama Hadi Natta, Riyo Edit Setyawan, Mohammad Teguh Wahyudi, Anggraeni Dwi Kurniasari, Gebi Asta Putri Purwoko, Eka Priati Mei Wulandari, sampai Hutri Adi Hermanto. Bukan untuk mereka. Mereka telah selesai disakiti. Tapi untuk kita, agar tak menjadi korban berikutnya dalam daftar yang tak kunjung selesai. Agar hidup kita tak diam-diam menjadi kelanjutan dari kejahatan yang dimaafkan.
Esai ini tidak sedang membahas masa lalu. Ia menatap kita. Ia bertanya: apakah kita masih ingat?
Tapi ingatan selalu berhadapan dengan cara dunia melupakan. Karena di negeri ini, tragedi hanya sebatas musim. Ia datang, menghujani linimasa, lalu pergi. Yang tertinggal hanya nama yang kerap salah eja, usia yang dilupakan, dan wajah yang tak sempat ditatap.
Tapi mari kita coba sekali lagi. Kali ini bukan untuk mengenang. Tapi untuk mengingat. Karena dalam dunia seperti ini, mengenang hanyalah upacara, sedangkan mengingat harus jadi metode kerja. Agar ingatan tak bisa lagi bergantung pada kenangan. Kenangan datang dan pergi, diundang oleh bau, cuaca, suara tertentu. Tapi ingatan harus dilatih. Ia adalah otot. Ia butuh disusun, dibentuk, dijaga. Bukan agar kita hidup dalam masa lalu, tapi agar masa lalu tak menjelma sebagai mesin kematian. Dan latihan ini bukan hal yang abstrak. Ia terjadi ketika kita menyebut nama. Membaca ulang dokumen. Menatap luka. Bukan demi perasaan, tapi demi kebenaran.
Maka mari kita bacakan nama-nama berikut ini. Minimal dengan suara lirih. Lebih baik dengan lantang. Agar orang di sebelahmu bertanya: siapa mereka? Dan saat itu terjadi, kita telah aktif memasuki medan perang antara ingatan dan kekuasaan dengan bahasa menjelma peluru dan tubuh yang menjadi pelontarnya.
Much. Yulianto. Firman Nur Abidin. Rudi Hariyanto. Mita Maulidya. Fiki Rochibalah. Jefri Ichlasul Amal. Hadiyatus Tsaniyah. Muhammad Febriansyah. Mayang Agustin. Najwa Zalfa Abdillah. Roni Setiawan. Eko Viki Sulistiyono. Ratna Endriani. Linda Restu Ningrat. Munifa Latiful Iksan. Fajar Yoyok Pujiono.
Esai ini juga tidak ditulis untuk dibaca sekali. Ia harus diulangi. Ia harus dilatihkan. Seperti sebuah lagu rakyat yang dibisikkan dari generasi ke generasi. Agar saat ruang-ruang dipugar, saat prasasti ditiadakan, saat stadion bersih kembali—yang tak bisa dibersihkan adalah kita. Selama kita masih bisa menyebut: Muchamad Arifin, Iwan Junaedi, Kusnaeni, Muhammad Bintang Pratama, Andi Setiawan, dan Hermawan Effendi — maka selama itu pula sejarah masih hidup. Bukan karena sudah ditulis. Tapi karena terus disebut.
Jika ingatan adalah latihan, maka tubuh yang menyebut nama-nama ini sedang mengingat dengan sadar. Maka bukan cuma Nafisatul Mukhoyaroh, Nova Setia Rahayu, Devi Ratnasari, Pratiwi, Shifwa Dinar Artamevia, dan Muhammad Andre Ramadhan saja yang jadi sejarah. Tapi juga tubuh kita yang tak menyerah untuk terus mengucap: bahwa ada yang tak selesai. Bahwa ada yang belum dibayar. Dan harus dibayar. Dan harus selesai. Kalau tidak hari ini, maka besok. Kalau bukan oleh mereka, maka oleh kita.
*) Daftar nama-nama yang disebutkan dalam esai ini berasal dari rilis Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) Kanjuruhan, lalu diujisilang dengan data yang dikeluarkan pemerintah.
Pas 135. Amazing
Tidak lupa, dan menolak lupa.